Dokumen
yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia terdiri dari
beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antarnaskah, misalnya
mengenai tempat penandatanganan—apakah Jakarta atau Bogor—tidak
mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah
itu—satu atau dua halaman—itu hanya soal teknis.
Sudharmono mengatakan, surat itu digandakan atau difotokopi. Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan, surat itu dironeo (distensil). Tampaknya awal tahun 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibu Kota. Dengan demikian, surat itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti naskah diketik ulang. Maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, logo burung Garudanya terlihat seperti digambar dengan tangan. Ketika biografi Jenderal Jusuf diterbitkan setelah ia meninggal, masyarakat berharap menemukan titik terang. Ternyata Supersemar yang dilampirkan bukanlah yang asli, paling tidak demikian menurut Kepala Arsip Nasional, karena logo yang digunakan Garuda Pancasila, padahal lambang kepresidenan adalah padi kapas.
Minimal
kita berharap, draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulisi
komentar Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak
ditandatangani Presiden) yang semuanya dimiliki Jenderal Jusuf dapat
diserahkan kepada pemerintah.
Di bawah tekanan
Aspek
kedua yaitu proses memperoleh surat itu perlu dijelaskan kepada
masyarakat, terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan bukan atas
kemauan atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di bawah
tekanan, seperti terlihat dari rangkaian peristiwa berikut ini.
Tanggal
9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat
dengan Bung Karno, diminta Asisten VII Men/Pangad Mayjen Alamsjah Ratu
Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan
kekuasaan kepada Soeharto. Pada malam itu juga, keduanya mendapat surat
perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/Pangad Letjen Soeharto
yang menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno
dan Men/Pangad.
Hasjim
Ning dan M Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10
Maret 1966 di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut.
Bung Karno menolak. Dengan amarah, Bung Karno berkata, ”Kamu juga sudah
pro-Soeharto!”
Dari
sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah dilakukan, lalu
diikuti dengan mengirim tiga jenderal ke Istana Bogor. Pagi 11 Maret
1966 dilangsungkan sidang kabinet di Istana yang dikepung oleh
demonstrasi mahasiswa besar-besaran serta didukung pasukan tertentu.
Hal itu mengagetkan Presiden yang memutuskan untuk menyingkir ke Istana
Bogor.
Brigjen
Kemal Idris saat itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan
RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya adalah menangkap
Soebandrio yang berlindung di kompleks Istana. Memang pasukan-pasukan
itu mencopot identitas mereka sehingga tak mengherankan Komandan
Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai ”pasukan tidak
dikenal” kepada Bung Karno. Letjen Soeharto sendiri tidak hadir dalam
sidang kabinet dengan alasan sakit. Bila dia ada, tentu Bung Karno akan
memerintahkannya untuk membubarkan demonstrasi gabungan
mahasiswa-tentara itu.
Sebetulnya
banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966 yang semuanya
menjadikan semacam ”tekanan” terhadap Presiden Soekarno. Dan, puncak
dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal itu. Bila tidak ada
demonstrasi dari mahasiswa dan pasukan tak dikenal yang mengepung
Istana, tentu peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak/belum
terjadi.
Tafsir berlawanan
Bagi
Presiden Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan,
termasuk keamanan Presiden dan keluarganya. Namun, sebenarnya ia
”kecolongan” dengan membubuhkan frase ”mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu” dalam surat tersebut. Padahal, perintah dalam militer
harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.
Menurut
Bung Karno, surat itu bukanlah transfer of authority. Amir Machmud
yang membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung
berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
Dengan
surat itu, Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966,
membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan
Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang
loyal kepada Presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat
Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). Tindakan Soeharto ini tidak lain
mengakhiri dualisme kekuasaan yang telah terjadi pasca-Gerakan 30
September.
Dualisme
kekuasaan itu tampak jelas dalam kasus penghentian rencana
nasionalisasi perusahaan asing akhir 1965. Tanggal 15 Desember 1965,
dengan naik helikopter Soeharto menuju Istana Cipanas tempat pertemuan
yang dipimpin Waperdam Chaerul Saleh dengan agenda pengambilalihan
Caltex. Soeharto turun dari helikopter dan berseru, ”AD tidak setuju
nasionalisasi Caltex”. Lalu, ia langsung meninggalkan tempat dan
kembali ke Jakarta. Peristiwa dramatis itu sungguh menunjukkan adanya
dua pimpinan nasional saat itu karena dalam kasus ini jelas Soeharto
tidak bertindak atas perintah Presiden Soekarno.
Pelajaran
yang dapat diambil dari keluarnya Supersemar ini adalah pada masa
mendatang hendaknya pergantian kekuasaan presiden berlangsung melalui
pemilihan umum yang demokratis (dan damai), bukan dengan ”kudeta
merangkak” yang menyakitkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan Bijak yang Bersifat Membangun demi Kemajuan Bersama. Komentar yang mengandung LINK aktif dan spam akan saya hapus. Saya mohon Maaf Apabila ada Artikel yang Kurang Berkenan di Hati Sobat Bloger dan Sebelumnya Saya Ucapkan TerimaKasih